Apa yang aku cari di sini? Di sudut kota tempat rinduku bersemi... Menghitung waktu yang seolah enggan berlalu. Kapan aku kembali padamu???...

Kamis, 03 April 2008

Adat Ngisi’ Pamali Dayak Jawant


Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, alam dan sesama tak luput dari kesalahan. Jika kesalahan dilakukan dengan sesamanya biasanya diselesaikan dengan jalan damai ataupun dengan hukum sesuai aturan yang berlaku. Tetapi jika kesalahan dilakukan terhadap Tuhan ataupun alam, penyelesaiannya dilakukan menurut ajaran agama ataupun adat istiadat. Masyarakat adat Dayak misalnya, mempunyai cara tersendiri dalam memulihkan hubungannya dengan Tuhan dan alam. Pada masyarakat Dayak Jawant dinamakan Ngisi’ Pamali.


Pamali (hal yang tidak boleh dilakukan baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja) menurut masyarakat adat yang mendiami Kampung Roca, Boti, Sulang Botong, Mondi, Nate Kelampe, Tapang Birah, Engkorong, Sungai Gontin, Bongkit dan Sengiang ini, ada dua adat pamali, yaitu Pamali Uma dan Pamali Rumah Tangga’. Pamali Uma (pamali dalam berladang) bisa berupa barobut pantap tikap bapancang tongah uma (perselisihan yang terjadi di ladang), padi terbakar ataupun dilanggarnya pantang lain. Sedangkan Pamali Rumah Tangga’ (pamali di dalam rumah) dapat berupa terbakar atau dibakarnya perabot rumah seperti tempat tidur, bantal, selimut, pakaian ataupun bagian dari rumah. Jika salah satu dari pamali itu dilanggar maka untuk pemulihannya harus dibayar adat Ngisi’ Pamali.


Pamali Uma biasanya dibayar saat nugal (menanam) atau nugal bonih campor. Dalam pelaksanaannya sedikit berbeda dengan Ngisi’ Pamali Rumah Tangga’. Jika pamali rumah tangga’ harus dikobo diibu, sedangkan Pamali Uma cukup dengan menyembelih ayam ke benih yang akan ditanam dan setelah selesai nugal baru Ngisi’ Pamalinya.


Berikut ini penuturan Ao, tetua Dayak Jawant di Mondi mengenai tata cara pelaksanaan Ngisi’ Pamali Rumah Tangga’. Ao beberapa waktu lalu membawakan adat ngisi’ pamali di rumah Markus Kian di Sekadau. Pasalnya sebelum itu secara tidak sengaja selimut milik salah satu anggota keluarga Markus Kian terbakar.


Yang harus disiapkan oleh keluarga Markus Kian sebelum mengadakan upacara adat tersebut adalah adat delapan be ikong be kapala yang disebut kurong semongat. Adat delapan terdiri dari 8 poku (24 buah) mangkuk adat ditambah dengan 4 buah mangkuk adat diisi dengan beras lalu satu potong besar ayam. Sedangkan ekor dan kepala adat itu adalah satu buah tempayan dan kain belacu’. Selain sarana adat di atas juga disiapkan 1 ekor ayam, penyemongat (keranjang kecil yang nantinya dipakai sebagai tempat semongat) diisi dengan beras dalam gantang.


Adapun tahapan pelaksanaannya dimulai dengan bakobo, yaitu berdoa memohon kepada Dota Patara (Tuhan, Red.) serta menyampaikan ujud dari pelaksanaan adat tersebut. Bakobo biasanya menggunakan ayam. Setelah dikobo, ayam tersebut dipotong dan dimasak. Setelah ayam masak selanjutnya disiapkan timbak penara’ (persembahan kepada Dota Patara). Tiga orang tetua lalu menjalankan timbak penara’ itu. Satu dijatuhkan ke penyemongat, satu ke selimut yang terbakar dan yang satunya lagi ke tanah.


Menurut Ao, maksud dari bakobo dan timbak penara’ itu sangat besar dan penting, karena penyampaian ujud-ujud dalam upacara itu dan sekaligus untuk memulihkan kembali hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam yang telah terganggu.


Setelah panara’ dijatuhkan dilanjutkan dengan acara makan minum. Setelah makan minum selesai, baru adat dibagikan. “Adat itu tidak hilang, hanya beras adat dan mangkuknya yang dibagikan,” ujar Ao. Ia juga menambahkan jika ada tiga mangkuk ada yang berisi beras dan daging ayam yang dibagikan, yang pertama diserahkan kepada pembawa adat, lalu kepada tuan rumah dan kepada satu orang lain yang dipercaya menerima penyerahan adat.


Setelah adat diserahkan, beras adat dihamburkan dan ditaburi di kepala seluruh anggota keluarga dengan disertai doa-doa sebagai wujud keselamatan sekaligus penutup acara adat tersebut.