Apa yang aku cari di sini? Di sudut kota tempat rinduku bersemi... Menghitung waktu yang seolah enggan berlalu. Kapan aku kembali padamu???...

Selasa, 08 April 2008

Rumah Pelangi


Panas terik terasa menyengat kulitku yang dilapisi jaket tipis yang mulai lusuh. Debu pekat menghalau pandang ketika motor yang ku kendarai berpapasan dengan mobil dari arah yang berlawanan. Jalan ini tak ubah bak padang pasir yang tandus, padahal jalan ini adalah jalan kebanggaan masyarakat Kalimantan Barat. "Jalan Trans Kalimantan", begitulah mereka menyebut jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Kalbar dengan wilayah Kabupaten Sanggau (Sosok) Kalbar ini.



Saya tidak sendirian menempuh jalan yang berdebu ini, tetapi kami satu rombongan dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI) St. Thomas More Pontianak, dengan menggunakan 7 buah motor (14 orang) kami bermaksud mengadakan Camping Rohani di "tengah telaga" jalanan berdebu itu.

Telaga itu bernama "Rumah Pelangi", sebuah tempat yang sungguh kontras dengan jalanan yang baru kami tempuh. Tempat dimana kami bisa menemukan sejuknya hutan yang alami, kicau burung yang bernyayi di balik rimbun pohon, ikan yang berkejaran di dalam kolam bendungan, angin segar yang membuai manja. Benar-benar bak sebuah telaga di padang tandus ini. Tempat ini adalah milik Kongregasi Capusin yang di kelola oleh P. Dr. Samuel Oton Sidin, OFM. Cap., seorang pastor yang mencintai lingkungan dan telah berbuat nyata sebagai ungkapan cintanya.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari 2 jam, sekitar pukul 13.30 WIB kami disambut dengan ramah oleh P. Samuel dikediamannya di tengah hutan yang begitu asri itu. "Kalau saya tua nanti, saya ingin hidup seperti Pastor," ungkap salah seorang teman kami dengan spontan.Dalam hati kecilku pun berucap demikian.

Setelah beramah-tamah,kami melakukan aktivitas. Ada yang masak dan sebagian mencari sayur di hutan, semuanya alami. "Ini seperti masa kanak-kanakku saat di kampung," gumamku tanpa sadar. ya.. Aku memang teringat dengan masa kecilku di Kampung Mondi, Sekadau. Semuanya begitu mirip.

Malamnya kami membuat acara nonton bersama warga kampung sekitar, sambutan dari warga cukup antusias. Dua film selesai di putar, film Penjualan Anak dan Perempuan dan Film Chico Mendes. Warga pulang dan kami melanjutkan dengan refleksi perhimpunan. Acara malam itu berlangsung sampai sekitar pukul 04.00 WIB.

Setelah istirahat sejenak, paginya kami misa di Gereja Kalvari bersama masyarakat sekitar. Kami menbantu menjadi petugas di gereja. Selesai misa ada acara perkenalan dan ramah-tamah dengan warga, lalu kami pamit kembali ke Pontianak.

Perjalanan kembali diwarnai dengan ngantuk yang sangat. Tapi tak peduli itu, kenangan telah terukir 2 hari ini, Sabtu s/d Minggu (5-6/04/2008). Kenangan telah tertinggal di sana, di rumah Pelangi... Di mana alam terlihat berseri... Kampung di masa kecil seolah kembali.

Read More......

Kamis, 03 April 2008

Sungai Menterap


Salah satu hal yang terasa menarik aku untuk kembali ke kampung halaman ku di Desa Mondi, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau adalah Sungai Menterap. Sungai tempat di mana sebagian kisah masa kanak-kanakku terukir.

Masih kental dalam ingatanku. Kala itu, tiada kenal pagi, siang atau pun sore hari. Tiada kenal panas terik ataupun hujan, Sungai Menterap adalah tempat bermain yang paling asik. Seakan terdengar kembali olehku, suara teriakan teman-teman kecilku ketika mereka berenang di derasnya aliran sungai jernih itu. Teringat olehku, bagaimana aku bisa seharian mencari ikan hanya dengan berbekal satu lidi dan karet gelang untuk memanah ikan-ikan kecil yang ku temui di antara batu riam yang deras. Seakan semuanya menggema kembali memanggilku pada masa lalu, pada kampung halamanku.
Kini, semuanya berubah. Sungai Menterap sudah berubah.

Tiada lagi canda ria, gerai tawa yang tercipta. Seperti air sungai yang seolah berduka lewat warnanya yang kini berubah keruh.

Banjir... banjir lagi Sungai Menterapku... Marah, menelan banyak korban kini. Kerugian materi dan bahkan nyawa yang kau pinta lewat ganas arus mu kala banjir. Mana keramahan mu dulu?

Mengapa?...

Kepada siapa aku bertanya? Memang kini hutan di hulu sungai mu telah berganti perkebunan sawit. Tapi kami tidak salah kan? Salahnya kami hanya tidak bisa berbuat apa-apa ketika hutan yang menjadi sumber hidup kita digusur oleh "mesin baja raksasa". Ketika tanah serapan air di padatkan dengan "seterika bumi" yang kejam. Kami memang tidak kuasa melawan. Karena kami hanya rakyat jelata, akar rumput yang merayap di tanah.

Tapi mengapa kemarahanmu datang pada kami jua. Kami yang mengagumi mu sejak kami mulai membuka mata menatap dunia, sejak kami meneriakan tangis pertama kami karena sejuk airmu pertama kali membasahi tubuh kami yang masih merah.

Kenapa tidak rumah penguasa yang datang dari "jawa melaka" sana yang kau robohkan dengan ganas alirmu? Agar mereka tahu jika kamu marah, kamu tidak terima atas perlakuan mereka atas alam kita. Kenapa harus kami? Kenapa?...

Read More......

Adat Ngisi’ Pamali Dayak Jawant


Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, alam dan sesama tak luput dari kesalahan. Jika kesalahan dilakukan dengan sesamanya biasanya diselesaikan dengan jalan damai ataupun dengan hukum sesuai aturan yang berlaku. Tetapi jika kesalahan dilakukan terhadap Tuhan ataupun alam, penyelesaiannya dilakukan menurut ajaran agama ataupun adat istiadat. Masyarakat adat Dayak misalnya, mempunyai cara tersendiri dalam memulihkan hubungannya dengan Tuhan dan alam. Pada masyarakat Dayak Jawant dinamakan Ngisi’ Pamali.


Pamali (hal yang tidak boleh dilakukan baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja) menurut masyarakat adat yang mendiami Kampung Roca, Boti, Sulang Botong, Mondi, Nate Kelampe, Tapang Birah, Engkorong, Sungai Gontin, Bongkit dan Sengiang ini, ada dua adat pamali, yaitu Pamali Uma dan Pamali Rumah Tangga’. Pamali Uma (pamali dalam berladang) bisa berupa barobut pantap tikap bapancang tongah uma (perselisihan yang terjadi di ladang), padi terbakar ataupun dilanggarnya pantang lain. Sedangkan Pamali Rumah Tangga’ (pamali di dalam rumah) dapat berupa terbakar atau dibakarnya perabot rumah seperti tempat tidur, bantal, selimut, pakaian ataupun bagian dari rumah. Jika salah satu dari pamali itu dilanggar maka untuk pemulihannya harus dibayar adat Ngisi’ Pamali.


Pamali Uma biasanya dibayar saat nugal (menanam) atau nugal bonih campor. Dalam pelaksanaannya sedikit berbeda dengan Ngisi’ Pamali Rumah Tangga’. Jika pamali rumah tangga’ harus dikobo diibu, sedangkan Pamali Uma cukup dengan menyembelih ayam ke benih yang akan ditanam dan setelah selesai nugal baru Ngisi’ Pamalinya.


Berikut ini penuturan Ao, tetua Dayak Jawant di Mondi mengenai tata cara pelaksanaan Ngisi’ Pamali Rumah Tangga’. Ao beberapa waktu lalu membawakan adat ngisi’ pamali di rumah Markus Kian di Sekadau. Pasalnya sebelum itu secara tidak sengaja selimut milik salah satu anggota keluarga Markus Kian terbakar.


Yang harus disiapkan oleh keluarga Markus Kian sebelum mengadakan upacara adat tersebut adalah adat delapan be ikong be kapala yang disebut kurong semongat. Adat delapan terdiri dari 8 poku (24 buah) mangkuk adat ditambah dengan 4 buah mangkuk adat diisi dengan beras lalu satu potong besar ayam. Sedangkan ekor dan kepala adat itu adalah satu buah tempayan dan kain belacu’. Selain sarana adat di atas juga disiapkan 1 ekor ayam, penyemongat (keranjang kecil yang nantinya dipakai sebagai tempat semongat) diisi dengan beras dalam gantang.


Adapun tahapan pelaksanaannya dimulai dengan bakobo, yaitu berdoa memohon kepada Dota Patara (Tuhan, Red.) serta menyampaikan ujud dari pelaksanaan adat tersebut. Bakobo biasanya menggunakan ayam. Setelah dikobo, ayam tersebut dipotong dan dimasak. Setelah ayam masak selanjutnya disiapkan timbak penara’ (persembahan kepada Dota Patara). Tiga orang tetua lalu menjalankan timbak penara’ itu. Satu dijatuhkan ke penyemongat, satu ke selimut yang terbakar dan yang satunya lagi ke tanah.


Menurut Ao, maksud dari bakobo dan timbak penara’ itu sangat besar dan penting, karena penyampaian ujud-ujud dalam upacara itu dan sekaligus untuk memulihkan kembali hubungan antara manusia dengan Tuhan dan alam yang telah terganggu.


Setelah panara’ dijatuhkan dilanjutkan dengan acara makan minum. Setelah makan minum selesai, baru adat dibagikan. “Adat itu tidak hilang, hanya beras adat dan mangkuknya yang dibagikan,” ujar Ao. Ia juga menambahkan jika ada tiga mangkuk ada yang berisi beras dan daging ayam yang dibagikan, yang pertama diserahkan kepada pembawa adat, lalu kepada tuan rumah dan kepada satu orang lain yang dipercaya menerima penyerahan adat.


Setelah adat diserahkan, beras adat dihamburkan dan ditaburi di kepala seluruh anggota keluarga dengan disertai doa-doa sebagai wujud keselamatan sekaligus penutup acara adat tersebut.

Read More......

Adat Menyambut Tamu Dayak Jawant


Sikap terbuka suku Dayak tercermin dalam berbagai budayanya. Dalam subsuku Dayak Jawant misalnya, sikap tersebut salah satunya ditunjukkan dengan adat menyambut tamu. Berikut ini penuturan Lodok, Menteri Adat Desa Mondi, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau.

Dayak Jawant mendiami pesisir aliran Sungai Menterap (anak Sungai Sekadau, Red.) dan sungai-sungai kecil lain yang bermuara di sungai Menterap. Kampungnya meliputi Roca, Boti, Sulang Botong, Mondi, Nate Kelampe, Tapang Birah, Gintong, Engkorong, Sungai Gontin, Bongkit dan Sengiang.

Ketika akan ada pejabat atau tamu agung lainnya datang ke kampungnya, orang Dayak Jawant selalu mengadakan acara sebagai penyambutan dan penghormatan terhadap tamu tersebut. Biasanya sehari sebelum kedatangan tamu tersebut warga kampung beramai-ramai membangun bale pananti’, yakni bangunan sementara serupa panggung yang didirikan di tengah jalan. Jika tidak cukup persiapan, hari itu juga beberapa orang warga datang ke rumah warga lainnya untuk meminta sumbangan tuak, arak atau lauk pauk untuk keperluan acara keesokan harinya. Namun jika dipersiapkan jauh hari, warga mengumpulkan uang, tuak dan beras lalu dimasak secara gotong-royong pada hari itu.

Pada hari kedatangan tamu, warga berbondong-bondong berkumpul di jalan menuju ke bale pananti’ tersebut. Beberapa orang tetua kampung, penari, pembawa jondar (sejenis kalung terbuat dari kulit kayu dan di hiasi lukisan motif Dayak, Red.) berada pada posisi paling depan untuk menyambut tamu. Sementara itu alat musik tradisional pun disiapkan.

Pada saat tamu datang langsung di kalungkan dengan jondar dan musik pun dimainkan, kemudian dengan didampingi para tetua tamu tersebut berjalan sambil menari menuju ke arah bale pananti’. Sepanjang jalan menuju ke bale pananti’ tamu tersebut diberi minum tuak dan disalami penduduk setempat sebagai ucapan selamat datang.

Sementara itu seorang tetua adat telah berada di atas bale pananti’. Tetua adat tersebut membacakan mantra sambil menghamburkan beras kuning kepada tamu yang baru datang. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang di kampung tersebut serta tamu yang datang mendapat lindungan dari Dota Patara (Tuhan, Red.). Sesampai di depan bale pananti’ tamu tersebut harus memotong buluh muda’ (bambu yang masih muda, Red.) dengan menggunakan nyabor (mandau).

Setelah memotong buluh muda’ tamu boleh naik ke bale. Pada tangga pertama bale diletakkan telur yang harus diinjak sampai pecah oleh tamu, dimaksudkan agar tamu tersebut dilindungi jika ada larangan yang terlanggar. Selanjutnya pada lantai bale pananti’ diletakkan talam yang berisikan air, batu dan ditancap sumpit yang diikat dengan sabok (kain tenun yang diperuntukkan bagi upacara adat, Red.) serta di sediakan pelita yang bernyala. Tamu yang datang harus menginjak talam tersebut dan memegang sabok. Dalam hal ini air mempunyai makna kesejahteraan bagi kampung yang didatangi, batu bermakna persatuan/persaudaraan yang kuat bagi tamu dan masyarakat di kampung tersebut, sumpit bermakna agar tamu dan masyarakat kampung selalu diberikan umur yang panjang dan pelita sebagai lambang penerangan.

Setelah itu tamu dengan dituntun para tetua kampung menari mengelilingi bale pananti’ sebanyak tiga kali. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan minum di atas bale tersebut. setelah selesai acara makan minum barulah tamu boleh memasuki kampung.

Read More......